Rabu, 22 Juni 2011

Silentium Magnum...dan ketenangan jiwa..

Dikalangan teman- teman yang pernah dan sedang bersekolah di seminari, tentu istilah "silentium magnum" bukanlah hal yang asing. Silentium magnum berasal dari bahasa latin, mungkin terjemahan bebasnya (walau bebas tapi tidak sebebas kemauan saya) keheningan mendalam. Pada saat saya mengenyam pendidikan di Seminari, dalam sehari, ada suatu waktu dimana saya dan teman-teman harus berada dalam keadaan keheningan mendalam, seperti pada saat belajar, berdoa, dan tidur (kalau orang tidur, kita ribut sih, ini sih namanya cari masalah he.he..he). Waktu itu, silentium magnum sangatlah menganggu karena kadang kita ingin curhat ama teman pas jam belajar, eh..saatnya silentium magnum, jadi harus tenang...Intinya silentium magnum, berubah menjadi keadaan yang sangat menjengkelkan buat kami saat itu.
Kata ini menjadi sangat bermakna buat saya, justru pada saat sekarang ini, dimana saya sudah tidak lagi mengenyam pendidikan di seminari, dan tidak ada lagi kebijakan silentium magnum dalam jadwal kegiatan harian saya. Awalnya, pada saat saya di Jepang, saya bertemu dengan seorang romo (pastor) Indonesia, yang pernah berkesempatan mendalami kontemplasi di Singapura or India (I do not remember exactly). Romo itu mengeluarkan satu kalimat yang sangat berkesan buat saya...."sadarilah apa yang kamu lakukan dalam hidup ini, karena suatu waktu semuanya akan hilang darimu". Itu membawa permenungan mendalam buat saya, bagaimana memaknai hidup lebih baik kedepan. Mulai saat itu, saya mencoba menyadari dan menikmati dengan raga dan jiwa segala kegiatan saya. Saya menyadari ketika kaki saya menapaki tanah, ataupun jalanan tembok, maupun aspal. Saya menyadari ketika angin berhembus menerpa wajah dan badan saya.
Yang terpenting, saya mencoba untuk meredam ego dan sifat negatif pada diri saya. Saya termasuk orang yang pemarah dan ingin menang sendiri. Sekarang, saya mulai meredam rasa marah, toh marah akan menimbulkan dampak negatif dan melukai jiwa bagi saya, dan juga orang-orang disekitar saya, selain itu saya ingin menyadari dan menikmati keberadaan saya ditengah orang, terutama orang yang saya cintai. Saya mulai bertanya, "Mengapa saya harus berkomunikasi dengan marah kepada orang, terutama pada orang yang saya cintai, padahal ada suatu waktu nantinya saya akan kehilangan waktu berkomunikasi dengan mereka, dan saya akan merindukannya kembali..."
Kembali ke silentium magnum, saya baru menyadari bahwa dalam keheningan yang mendalam, kita akan menyadari dan merasakan esensi kehidupan. Ketika bangun pagi hari, dalam keadaan silentium magnum dirumah, saya dapat menikmati suara jangkrik, kokok ayam, udara segar, napas orang tercinta yang masih tidur disekitar saya, dan yang terpenting menikmati keadaan hening pagi hari..yang mana dalam sejam, akan hilang lagi berganti dengan suara kendaraan yang lalu lalang, kemacetan, dan makian orang2 berkendara.
Marilah kita mulai membiasakan diri, menyadari dan menikmati ketenangan yang dalam (silentium magnum), memberi sedikit ruangbagi diri kita untuk sekadar beristirahat menyadari ketenangan sekitar kita, karena dalam ketenangan yang mendalam, kita merasakan betapa hidup yang kita jalani sangatlah indah, betapa banyak berkat yang masih kita nikmati, ditengah kekacauan yang sedang dan akan kita hadapi...sehingga kita dapat menyikapi hidup dengan lebih tenang dan lebih bijak...
Sadarilah segala aktivitas kita, walaupun itu sangat sederhana, seperti tersenyum, bernapas, mencintai sesama kita dan alam..karena pada satu waktu kita akan kehilangan semuanya..

salam,
ayun

4 komentar:

  1. Jd teringat masa-masa di seminari menengah. Makasi sdh mengingatkan!

    BalasHapus
  2. keren! terima kasih atas permenungannya... di tengah kesibukan kehidupan modern ini, kita memang butuh silentium magnum untuk mengingat kembali makna kehidupan...

    BalasHapus
  3. Setujuu, aku sih ga di seminari tapi di sekolah Katolik. Akrab banget sama istilah silentium magnum. Makasii mas!

    BalasHapus