Selasa, 21 Juni 2011

Sekolah standar nasional??????

Dua minggu lalu, seorang teman kantor saya menyodorkan selembar kertas dari salah satu sekolah yang SMA negeri "terpandang" di daerah saya. Dalam surat tersebut berisi standar kesanggupan orang tua untuk memenuhi biaya pembangunan dan biaya uang sekolah jika sang anak lulus tes bergabung dengan sekolah mereka. Pertama menyimak surat itu, saya terkejut juga karena ternyata untuk masuk SMA negeri (dulu jaman Orde baru, sekolah negeri terkenal murahnya dengan kualitas yang baik) saat ini sangatlah mahal, bayangin uang sekolahnya sampai Rp.200 ribu/bulan. Dengan gaji PNS yang pas-pasan seperti saya dan meroketnya harga kebutuhan sehari-hari, akan sangat berat memasukkan anak ke sekolah, but anyway, itulah hebatnya di negara tercinta ini, dengan gaji yang pas-pasan, orang tua masih mampu memenuhi kewajiban menyekolahkan anaknya dengan berbagai cara...btw, bukan ini point yg saya ingin ceritakan..
Kembali ke surat tadi...ada sedikit yang membuat saya bingung sekaligus geli membaca salah satu pernyataan didalamnya, kalau saya tidak salah ingat intinya seperti ini.."untuk mencapai sekolah berstandar nasional berdasarkan ..., maka diharapkan kontribusi sukarela orangtua sebesar.. ". Ada beberapa hal yang membuat saya ambigu, dan bingung terhadap pernyataan ini :
1. Merujuk pada kalimat tersebut, maka SMA ini belum masuk pada standar nasional sekolah menengah. Lalu pertanyaan lanjut, mengapa mungkin sekolah ini beroperasi jika tidak memenuhi standar? dan jika sekolah ini belum memenuhi standar bagaimana dengan SMA lainnya yang berada di pelosok daerah, sangat amat tidak berstandar nasional kan, berarti tidak ada satu sekolahpun yang memenuhi standar nasional di daerah kami..
2. Jika sekolah tersebut belum berstandar nasional, lalu bagaimana dengan lulusannya? apakah telah memenuhi standar kelulusan?
3. Saya pikir adalah tugas negara memenuhi segala fasilitas fisik, SDM dan lain2 untuk memenuhi standar nasional suatu sekolah, buka dibebankan kepada orangtua murid. Ini suatu kebijakan yang tidak fair, karena jika sang murid mampu secara kognitif dan afektif untuk lulus dan bersekolah di sekolah tersebut, tetapi karena tidak mampu memenuhi biaya - biaya untuk standarisasi sekolah, dia tersingkir, ini sangat tidak fair, dan menyia-nyiakan potensi SDM berkualitas..
4. Mereujuk pada point 3, akhirnya standarisasi nasional sekolah tidak lagi membuat dunia pendidikan semakin maju, terbuka dan fair untuk semua sehingga membangun generasi kompetitif dapat tercapai, tetapi mempertegas bahwa sekolah hanya untuk orang-orang yang memiliki akses sumberdaya ekonomi yang besar, yang mungkin dengan kemampuan kognitif yang biasa-biasa saja, dan menciptakan generasi neo-feodalism..

salam,
ayun

p.s. let us talk about it..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar