Dikalangan teman- teman yang pernah dan sedang bersekolah di seminari, tentu istilah "silentium magnum" bukanlah hal yang asing. Silentium magnum berasal dari bahasa latin, mungkin terjemahan bebasnya (walau bebas tapi tidak sebebas kemauan saya) keheningan mendalam. Pada saat saya mengenyam pendidikan di Seminari, dalam sehari, ada suatu waktu dimana saya dan teman-teman harus berada dalam keadaan keheningan mendalam, seperti pada saat belajar, berdoa, dan tidur (kalau orang tidur, kita ribut sih, ini sih namanya cari masalah he.he..he). Waktu itu, silentium magnum sangatlah menganggu karena kadang kita ingin curhat ama teman pas jam belajar, eh..saatnya silentium magnum, jadi harus tenang...Intinya silentium magnum, berubah menjadi keadaan yang sangat menjengkelkan buat kami saat itu.
Kata ini menjadi sangat bermakna buat saya, justru pada saat sekarang ini, dimana saya sudah tidak lagi mengenyam pendidikan di seminari, dan tidak ada lagi kebijakan silentium magnum dalam jadwal kegiatan harian saya. Awalnya, pada saat saya di Jepang, saya bertemu dengan seorang romo (pastor) Indonesia, yang pernah berkesempatan mendalami kontemplasi di Singapura or India (I do not remember exactly). Romo itu mengeluarkan satu kalimat yang sangat berkesan buat saya...."sadarilah apa yang kamu lakukan dalam hidup ini, karena suatu waktu semuanya akan hilang darimu". Itu membawa permenungan mendalam buat saya, bagaimana memaknai hidup lebih baik kedepan. Mulai saat itu, saya mencoba menyadari dan menikmati dengan raga dan jiwa segala kegiatan saya. Saya menyadari ketika kaki saya menapaki tanah, ataupun jalanan tembok, maupun aspal. Saya menyadari ketika angin berhembus menerpa wajah dan badan saya.
Yang terpenting, saya mencoba untuk meredam ego dan sifat negatif pada diri saya. Saya termasuk orang yang pemarah dan ingin menang sendiri. Sekarang, saya mulai meredam rasa marah, toh marah akan menimbulkan dampak negatif dan melukai jiwa bagi saya, dan juga orang-orang disekitar saya, selain itu saya ingin menyadari dan menikmati keberadaan saya ditengah orang, terutama orang yang saya cintai. Saya mulai bertanya, "Mengapa saya harus berkomunikasi dengan marah kepada orang, terutama pada orang yang saya cintai, padahal ada suatu waktu nantinya saya akan kehilangan waktu berkomunikasi dengan mereka, dan saya akan merindukannya kembali..."
Kembali ke silentium magnum, saya baru menyadari bahwa dalam keheningan yang mendalam, kita akan menyadari dan merasakan esensi kehidupan. Ketika bangun pagi hari, dalam keadaan silentium magnum dirumah, saya dapat menikmati suara jangkrik, kokok ayam, udara segar, napas orang tercinta yang masih tidur disekitar saya, dan yang terpenting menikmati keadaan hening pagi hari..yang mana dalam sejam, akan hilang lagi berganti dengan suara kendaraan yang lalu lalang, kemacetan, dan makian orang2 berkendara.
Marilah kita mulai membiasakan diri, menyadari dan menikmati ketenangan yang dalam (silentium magnum), memberi sedikit ruangbagi diri kita untuk sekadar beristirahat menyadari ketenangan sekitar kita, karena dalam ketenangan yang mendalam, kita merasakan betapa hidup yang kita jalani sangatlah indah, betapa banyak berkat yang masih kita nikmati, ditengah kekacauan yang sedang dan akan kita hadapi...sehingga kita dapat menyikapi hidup dengan lebih tenang dan lebih bijak...
Sadarilah segala aktivitas kita, walaupun itu sangat sederhana, seperti tersenyum, bernapas, mencintai sesama kita dan alam..karena pada satu waktu kita akan kehilangan semuanya..
salam,
ayun
Ayun Parandean
Bercerita tentang hal-hal yang menganjal, dan membuka ruang diskusi untuk itu. Menjunjung tinggi kebebasan berpikir dan berekspresi..
Rabu, 22 Juni 2011
Selasa, 21 Juni 2011
Sekolah standar nasional??????
Dua minggu lalu, seorang teman kantor saya menyodorkan selembar kertas dari salah satu sekolah yang SMA negeri "terpandang" di daerah saya. Dalam surat tersebut berisi standar kesanggupan orang tua untuk memenuhi biaya pembangunan dan biaya uang sekolah jika sang anak lulus tes bergabung dengan sekolah mereka. Pertama menyimak surat itu, saya terkejut juga karena ternyata untuk masuk SMA negeri (dulu jaman Orde baru, sekolah negeri terkenal murahnya dengan kualitas yang baik) saat ini sangatlah mahal, bayangin uang sekolahnya sampai Rp.200 ribu/bulan. Dengan gaji PNS yang pas-pasan seperti saya dan meroketnya harga kebutuhan sehari-hari, akan sangat berat memasukkan anak ke sekolah, but anyway, itulah hebatnya di negara tercinta ini, dengan gaji yang pas-pasan, orang tua masih mampu memenuhi kewajiban menyekolahkan anaknya dengan berbagai cara...btw, bukan ini point yg saya ingin ceritakan..
Kembali ke surat tadi...ada sedikit yang membuat saya bingung sekaligus geli membaca salah satu pernyataan didalamnya, kalau saya tidak salah ingat intinya seperti ini.."untuk mencapai sekolah berstandar nasional berdasarkan ..., maka diharapkan kontribusi sukarela orangtua sebesar.. ". Ada beberapa hal yang membuat saya ambigu, dan bingung terhadap pernyataan ini :
1. Merujuk pada kalimat tersebut, maka SMA ini belum masuk pada standar nasional sekolah menengah. Lalu pertanyaan lanjut, mengapa mungkin sekolah ini beroperasi jika tidak memenuhi standar? dan jika sekolah ini belum memenuhi standar bagaimana dengan SMA lainnya yang berada di pelosok daerah, sangat amat tidak berstandar nasional kan, berarti tidak ada satu sekolahpun yang memenuhi standar nasional di daerah kami..
2. Jika sekolah tersebut belum berstandar nasional, lalu bagaimana dengan lulusannya? apakah telah memenuhi standar kelulusan?
3. Saya pikir adalah tugas negara memenuhi segala fasilitas fisik, SDM dan lain2 untuk memenuhi standar nasional suatu sekolah, buka dibebankan kepada orangtua murid. Ini suatu kebijakan yang tidak fair, karena jika sang murid mampu secara kognitif dan afektif untuk lulus dan bersekolah di sekolah tersebut, tetapi karena tidak mampu memenuhi biaya - biaya untuk standarisasi sekolah, dia tersingkir, ini sangat tidak fair, dan menyia-nyiakan potensi SDM berkualitas..
4. Mereujuk pada point 3, akhirnya standarisasi nasional sekolah tidak lagi membuat dunia pendidikan semakin maju, terbuka dan fair untuk semua sehingga membangun generasi kompetitif dapat tercapai, tetapi mempertegas bahwa sekolah hanya untuk orang-orang yang memiliki akses sumberdaya ekonomi yang besar, yang mungkin dengan kemampuan kognitif yang biasa-biasa saja, dan menciptakan generasi neo-feodalism..
salam,
ayun
p.s. let us talk about it..
Kembali ke surat tadi...ada sedikit yang membuat saya bingung sekaligus geli membaca salah satu pernyataan didalamnya, kalau saya tidak salah ingat intinya seperti ini.."untuk mencapai sekolah berstandar nasional berdasarkan ..., maka diharapkan kontribusi sukarela orangtua sebesar.. ". Ada beberapa hal yang membuat saya ambigu, dan bingung terhadap pernyataan ini :
1. Merujuk pada kalimat tersebut, maka SMA ini belum masuk pada standar nasional sekolah menengah. Lalu pertanyaan lanjut, mengapa mungkin sekolah ini beroperasi jika tidak memenuhi standar? dan jika sekolah ini belum memenuhi standar bagaimana dengan SMA lainnya yang berada di pelosok daerah, sangat amat tidak berstandar nasional kan, berarti tidak ada satu sekolahpun yang memenuhi standar nasional di daerah kami..
2. Jika sekolah tersebut belum berstandar nasional, lalu bagaimana dengan lulusannya? apakah telah memenuhi standar kelulusan?
3. Saya pikir adalah tugas negara memenuhi segala fasilitas fisik, SDM dan lain2 untuk memenuhi standar nasional suatu sekolah, buka dibebankan kepada orangtua murid. Ini suatu kebijakan yang tidak fair, karena jika sang murid mampu secara kognitif dan afektif untuk lulus dan bersekolah di sekolah tersebut, tetapi karena tidak mampu memenuhi biaya - biaya untuk standarisasi sekolah, dia tersingkir, ini sangat tidak fair, dan menyia-nyiakan potensi SDM berkualitas..
4. Mereujuk pada point 3, akhirnya standarisasi nasional sekolah tidak lagi membuat dunia pendidikan semakin maju, terbuka dan fair untuk semua sehingga membangun generasi kompetitif dapat tercapai, tetapi mempertegas bahwa sekolah hanya untuk orang-orang yang memiliki akses sumberdaya ekonomi yang besar, yang mungkin dengan kemampuan kognitif yang biasa-biasa saja, dan menciptakan generasi neo-feodalism..
salam,
ayun
p.s. let us talk about it..
Senin, 20 Juni 2011
Nasib baik, is it good or bad?....
Apakah nasib baik tersebut dan bagaimana nasib baik berperan dalam kehidupan kita, terutama dalam pencapaian keberhasilan finansial dan ekonomi?
Dalam satu cerita lepas tentang sekolah, nasib dan keberhasilan seseorang di masa depan, seorang teman saya bercerita tentang keberhasilan handai taulannya, dengan standar penilaian ukuran pencapaian adalah kondisi ekonomi yang telah melebihi mungkin berpuluh kali lipat standar kemiskinan versi Bank Dunia, apalagi BPS, sehingga dapat melakukan upacara adat dengan biaya yang besar . Sang handai taulan ini berhasil masuk sekolah ikatan dinas suatu lembaga negara yang menjadi rahasia umum sebagai "lembaga tempat basah" dan bekerja pada lembaga tersebut (pertanyaan konyol saya-mengapa orang tidak mau tinggal even dekat "tempat basah", padahal berbondong-bondong ingin kerja di "tempat basah"). Kesimpulan akhir pembicaraan lepas adalah menjadi cerdas adalah baik, tetapi menjadi menjadi kaya lebih baik, dan seringkali nasib baik membawa orang menjadi kaya, bukan hanya sekolah dan kecerdasan.....
Saya mencermati beberapa hal sehubungan dengan cerita ini? Pertama, bagi saya, hal yang sangat lumrah membanggakan keberhasilan dibandingkan kegagalan (walaupun kata bijak : jangan takut gagal, karena gagal adalah awal dari kesuksesan), tapi kadang kita berlebihan membanggakan keberhasilan (endpoint) tanpa membanggakan proses menjadi berhasil (process to get endpoint). .t
Kedua, cerita ini seringkali diceritakan pada generasi muda. Jadi generasi tua memberi preferensi bahwa pencapaian kesuksesan dinilai dari pencapaian ekonomi, dan mencapainya dengan bekerja di "tempat basah", atau dengan "berusaha kuat untuk mencapai keberhasilan melalui jalur yang benar". point kedua, it's ok, tapi jika mengikut point pertama, (ini yang gawat) menjadi preseden buruk karena generasi muda berpikir, dengan "lihai" bekerja di"tempat basah" akan cepat menjadi kaya, dan menjadi acuan keberhasilan dalam masyarakat..menjadi kebanggaan dalam komunitas, walau process pencapaiannya walahualam...
Yang menarik adalah mengenai nasib baik...dimana titk nasib baik tersebut? contoh..apakah karena kecerdasan bisa masuk ke sekolah bergengsi, atau karena "lobi" (ini termasuk nasib baik karena tdk semua orang bisa punya jaringan) bisa masuk ke sekolah bergengsi dan bekerja di "tempat basah", atau karena "silap" sehingga nilai tes masuk yang jelek bisa berubah jadi baik...walahualam
Lalu apakah nasib baik yang mendatangkan sukses? seperti handai taulan teman saya, yang nasib baik bisa sekolah dan kerja di "tempat basah"...atau berusaha keras menjadi berhasil (lihai melobi)...atau karena kerja keras, dan berkompetisi dengan baik..walahualam..
Akhirnya, kembali saya geli, aneh, dan bingung mendengar cerita dan melihat fenomena masyarakat kita yang sedang terjadi...if you want to get success, it is better to learn become a bunglon, is not it?
Ayun...
P.S. please share some opinion about that...
Dalam satu cerita lepas tentang sekolah, nasib dan keberhasilan seseorang di masa depan, seorang teman saya bercerita tentang keberhasilan handai taulannya, dengan standar penilaian ukuran pencapaian adalah kondisi ekonomi yang telah melebihi mungkin berpuluh kali lipat standar kemiskinan versi Bank Dunia, apalagi BPS, sehingga dapat melakukan upacara adat dengan biaya yang besar . Sang handai taulan ini berhasil masuk sekolah ikatan dinas suatu lembaga negara yang menjadi rahasia umum sebagai "lembaga tempat basah" dan bekerja pada lembaga tersebut (pertanyaan konyol saya-mengapa orang tidak mau tinggal even dekat "tempat basah", padahal berbondong-bondong ingin kerja di "tempat basah"). Kesimpulan akhir pembicaraan lepas adalah menjadi cerdas adalah baik, tetapi menjadi menjadi kaya lebih baik, dan seringkali nasib baik membawa orang menjadi kaya, bukan hanya sekolah dan kecerdasan.....
Saya mencermati beberapa hal sehubungan dengan cerita ini? Pertama, bagi saya, hal yang sangat lumrah membanggakan keberhasilan dibandingkan kegagalan (walaupun kata bijak : jangan takut gagal, karena gagal adalah awal dari kesuksesan), tapi kadang kita berlebihan membanggakan keberhasilan (endpoint) tanpa membanggakan proses menjadi berhasil (process to get endpoint). .t
Kedua, cerita ini seringkali diceritakan pada generasi muda. Jadi generasi tua memberi preferensi bahwa pencapaian kesuksesan dinilai dari pencapaian ekonomi, dan mencapainya dengan bekerja di "tempat basah", atau dengan "berusaha kuat untuk mencapai keberhasilan melalui jalur yang benar". point kedua, it's ok, tapi jika mengikut point pertama, (ini yang gawat) menjadi preseden buruk karena generasi muda berpikir, dengan "lihai" bekerja di"tempat basah" akan cepat menjadi kaya, dan menjadi acuan keberhasilan dalam masyarakat..menjadi kebanggaan dalam komunitas, walau process pencapaiannya walahualam...
Yang menarik adalah mengenai nasib baik...dimana titk nasib baik tersebut? contoh..apakah karena kecerdasan bisa masuk ke sekolah bergengsi, atau karena "lobi" (ini termasuk nasib baik karena tdk semua orang bisa punya jaringan) bisa masuk ke sekolah bergengsi dan bekerja di "tempat basah", atau karena "silap" sehingga nilai tes masuk yang jelek bisa berubah jadi baik...walahualam
Lalu apakah nasib baik yang mendatangkan sukses? seperti handai taulan teman saya, yang nasib baik bisa sekolah dan kerja di "tempat basah"...atau berusaha keras menjadi berhasil (lihai melobi)...atau karena kerja keras, dan berkompetisi dengan baik..walahualam..
Akhirnya, kembali saya geli, aneh, dan bingung mendengar cerita dan melihat fenomena masyarakat kita yang sedang terjadi...if you want to get success, it is better to learn become a bunglon, is not it?
Ayun...
P.S. please share some opinion about that...
Langganan:
Postingan (Atom)